http://http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.htmlOleh : FX. Gus Setyono
Kata ”teamwork" mempunyai makna sebuah aktivitas kerjasama yang melibatkan semua anggota tim yang diserahi tanggung jawab suatu pekerjaan/proyek. Karena melibatkan semua, maka keberhasilan pekerjaan tersebut adalah keberhasilan semua, dan kegagalan pekerjaan adalah kegagalan semua anggota tim. Ibarat tubuh yang sedang bekerja, maka luka yang diderita satu bagian tubuh akan dirasakan sakit oleh semua anggota tubuh yang lain.
Istilah teamwork banyak dipakai oleh organisasi atau perusahaan yang dalam aktivitasnya banyak melaksanakan pekerjaan atau proyek-proyek besar yang tidak mungkin dilaksanakan secara single fighter. Sebenarnya semua aktivitas dalam organisasi/perusahaan membutuhkan teamwork, karena melibatkan seluruh anggota organisasi. Keberhasilan sebuah organisasi juga sangat dipengaruhi bagaimana teamwork (semua anggota organisasi) dapat terbentuk dengan baik. Masing-masing bagian memang melaksanakan tugas sesuai bagiannya, namun mereka tetap harus terikat dalam sebuah jalinan teamwork, tidak boleh jalan sendiri-sendiri.
Dengan terikat dalam jalinan kerja tim, maka masing-masing anggota akan terikat secara psikologis atas keberhasilan seluruh anggota tim. Sebab kalau satu anggota saja yang bertindak salah yang mengakibatkan gagalnya pekerjaan, maka anggota lainnya akan dianggap gagal juga. Karena itu, efek positif dari teamwork, selain memacu setiap anggota untuk bekerja maksimal dan selalu berkoordinasi/bekerjasama, juga akan membentuk mental setia kawan dan saling membantu. Siapa di antara anggota yang mengalami kesulitan akan dibantu oleh anggota lainnya, supaya proyek sukses, dan artinya keberhasilan dia juga.
Karena itu, dalam menangani sebuah proyek yang penting (exclusive project), sebaiknya tim yang menangani adalah seluruh anggota organisasi, dan tidak perlu dibentuk tim khusus (exclusive team). Agar kerjasama, dan “rasa memiliki/tanggung jawab” terhadap proyek dan perusahaan tetap terjaga. Dibentuknya sebuah tim khusus akan membuat anggota yang lain merasa “tidak bertanggung jawab” terhadap pekerjaan yang bersifat eksklusif.
Pembentukan tim khusus menciptakan efek negatif secara psikologis anggota yang lain. Mereka hanya akan melihat tim khusus bekerja, mereka ada yang merasa “tidak dipakai”, dianggap tidak mampu, atau diremehkan. Kalau ada keberhasilan tim khusus maka anggota lain hanya akan merasa iri, sedangkan kalau terjadi masalah atau kegagalan, yang lain akan bersikap “cuek”, lebih parah lagi malah cuma “mentertawakan”.
Exclusive Team
Pembentukan sebuah tim eksklusif tidak lepas dari sempitnya pandangan mengenai exclusive project sebagai sebuah pelaksanaan pekerjaan penting, sehingga perlu dibentuk sebuah tim khusus untuk menanganinya. Namun yang kemudian dominan muncul di organisasi/perusahaan adalah : tim-nya yang eksklusif, dan bukan pekerjaannya yang eksklusif.
Mereka yang ditunjuk masuk dalam exclusive team juga merasa berbangga diri karena masuk dalam tim yang eksklusif. Akhirnya muncul perpecahan antara yang masuk eksklusif dan yang tidak. Kondisi ini bila dibiarkan berlarut-larut tentunya membuat jalannya organisasi tersendat-sendat. Masing-masing bertindak sendiri-sendiri tanpa memikirkan keberhasilan exclusive project, lebih parah lagi bisa mengakibatkan ketidakpedulian anggota organisasi (yg tidak masuk exclusive team) terhadap keberhasilan tujuan organisasi.
Exclusive team memunculkan berbagai dampak negatif dalam sebuah organisasi, antara lain :
-ketidakpedulian anggota lain terhadap proyek/pekerjaan penting
-sikap saling menyalahkan atau mencari pembenaran sendiri bila terjadi suatu kesalahan
-terbentuknya egoisme dan rasa saling iri antar anggota organisasi
-sikap merasa “paling hebat” (karena masuk tim yang eksklusif)
Bukankah sikap-sikap tersebut bisa menghambat kemajuan organisasi/perusahaan? Karena itu sekedar sebagai masukan bagi para pemimpin organisasi, lebih baik menanamkan eksklusifnya sebuah proyek terhadap semua anggota organisasi, daripada menanamkan eksklusifnya beberapa anggota dengan membentuk exclusive team.
Bentuklah teamwork yang melibatkan seluruh bagian organisasi, karena pada dasarnya semua bagian atau semua anggota akan terlibat (sesuai bidang masing-masing), meskipun yang sedang dilaksanakan adalah sebuah pekerjaan eksklusif. Teamwork yang melibatkan semua anggota akan membuat setiap anggota merasa terikat atau bertanggungjawab terhadap setiap pekerjaan. Kerjasama akan terus terjaga, militansi serta loyalitas terhadap organisasi juga akan terbentuk. Perkembangan organisasi akan didukung penuh oleh semua anggota. Keberhasilan organisasi adalah keberhasilan bersama, karena itu perlu diperjuangkan bersama-sama.
Jangan biarkan organisasi kita hancur karena tindakan-tindakan yang sebenarnya juga bertentangan dengan karakter Bangsa kita.***
Minggu, 18 Juli 2010
Kamis, 25 Maret 2010
Meningkatkan Motivasi Dan Potensi Karyawan
Oleh : FX. Gus Setyono
Pada prinsipnya ada dua jalur yang bisa digunakan oleh Manajemen perusahaan (yang diwakili oleh HRD) untuk meningkatkan motivasi dan potensi diri karyawan dalam bekerja.
Pertama, jalur pengembangan diri. Pengembangan diri bisa diimplementasikan dengan kegiatan training maupun yang bersifat gathering. Berbagai bentuk training (termasuk outbond) selain membentuk kompetensi juga bisa menjadi kegiatan refreshing. Oleh sebab itu training yang dilaksanakan di luar lokasi (eksternal) perusahaan sangat dibutuhkan.
Di samping training kegiatan gathering (misalnya : family gathering) juga diperlukan untuk memberi kesempatan karyawan untuk refresing, sehingga semangat kerja dapat kembali terbangun.
Kedua, jalur pengembangan karir. Sistem pengembangan karir yang jelas dan fair diterapkan akan menciptakan motivasi kerja. Setiap karyawan merasa memiliki "tujuan" atau arah yang jelas dalam berkarir di perusahaan. Mereka bisa menetapkan impian-impian mereka dalam berkarir dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya dengan cara "berprestasi" dalam perusahaan. Jenjang karir yang jelas dan fair akan membuat para pekerja berlomba-lomba untuk meraih puncak karir (tertinggi) dalam organisasi. Mereka akan bekerja keras demi mencapai setiap level jabatan yang ada di perusahaan. oleh sebab itu sistem dan jenjang karir dalam sebuah organisasi (termasuk perusahaan) perlu dijelaskan kepada setiap anggota organisasi.
Jadi apakah Anda akan membuat jenjang karir di perusahaan Anda tetap tertutup dan hanya berdasar mood atau berciri "like or dislike"..???***
Pada prinsipnya ada dua jalur yang bisa digunakan oleh Manajemen perusahaan (yang diwakili oleh HRD) untuk meningkatkan motivasi dan potensi diri karyawan dalam bekerja.
Pertama, jalur pengembangan diri. Pengembangan diri bisa diimplementasikan dengan kegiatan training maupun yang bersifat gathering. Berbagai bentuk training (termasuk outbond) selain membentuk kompetensi juga bisa menjadi kegiatan refreshing. Oleh sebab itu training yang dilaksanakan di luar lokasi (eksternal) perusahaan sangat dibutuhkan.
Di samping training kegiatan gathering (misalnya : family gathering) juga diperlukan untuk memberi kesempatan karyawan untuk refresing, sehingga semangat kerja dapat kembali terbangun.
Kedua, jalur pengembangan karir. Sistem pengembangan karir yang jelas dan fair diterapkan akan menciptakan motivasi kerja. Setiap karyawan merasa memiliki "tujuan" atau arah yang jelas dalam berkarir di perusahaan. Mereka bisa menetapkan impian-impian mereka dalam berkarir dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya dengan cara "berprestasi" dalam perusahaan. Jenjang karir yang jelas dan fair akan membuat para pekerja berlomba-lomba untuk meraih puncak karir (tertinggi) dalam organisasi. Mereka akan bekerja keras demi mencapai setiap level jabatan yang ada di perusahaan. oleh sebab itu sistem dan jenjang karir dalam sebuah organisasi (termasuk perusahaan) perlu dijelaskan kepada setiap anggota organisasi.
Jadi apakah Anda akan membuat jenjang karir di perusahaan Anda tetap tertutup dan hanya berdasar mood atau berciri "like or dislike"..???***
Kamis, 26 Maret 2009
MENDESAK, DIBENTUKNYA POSKO KORBAN PHK
Oleh : FX. Gus Setyono
Badai PHK mulai menyapu para pekerja di sektor-sektor swasta. Lebih dari 7.700 orang dari 21 perusahaan di Jawa Tengah per desember 2008 yang lalu telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Karenanya, sangat mendesak untuk dibentuk Posko-Posko penanganan korban PHK di wilayah ini.
Merujuk data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, jumlah angka pengangguran yang mencapai 1,173 juta orang, jelas sangat tinggi.1 Bila angka ini semakin bertambah akibat krisis global yang disinyalir tidak akan cepat berakhir, tentunya wilayah Jawa Tengah akan rawan terhadap munculnya penyakit-penyakit sosial.
Kehilangan pekerjaan bagi setiap orang yang menyandang status sosial di masyarakat sangat rentan memunculkan tekanan. Tekanan-tekanan yang dialami tidak hanya disebabkan karena sulitnya memperoleh segala kebutuhan hidup, namun juga akibat harga diri mereka yang luluh lantak di mata masyarakat.
Pekerja yang terkena PHK bisa mengalami depresi psikologis yang hebat. Seperti pernah di gam- barkan mantan Presiden AS, Ronald Reagan, yang dikutip Prof.Hendrawan Supratikno dalam salah satu tulisannya, “recession is when your neighbor loses his job, depression is when you lose your job”.2 Seorang teknisi medis di California (AS) bahkan sampai nekat menembak istri, kelima anak, dan dirinya sendiri, akibat frustasi setelah di-PHK dari rumah sakit tempatnya bekerja.3
PHK dan pengangguran juga sangat riskan terhadap kerawanan sosial. Hilangnya mata pencaharian dapat menciptakan lebih banyak kejahatan karena keadaan yang memaksa. PHK dan pengangguran juga sangat berisiko terhadap upaya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dengan meng-gerakkan massa pengangguran untuk melakukan kerusuhan-kerusuhan massa.
Karena itu, pembentukan Posko-Posko penanganan korban PHK akan meredam segala kerawanan sosial ini, sekaligus menjadi langkah nyata yang langsung menyentuh para pekerja dan menjadi angin segar bagi mereka.
Gampang Dijangkau
Posko sifatnya fleksibel, mudah dibentuk, bisa didirikan dimanapun sesuai kebutuhan. Sifatnya yang fleksibel membuat masyarakat yang membutuhkan jadi gampang menjangkaunya. Dimanapun mereka berada tetap punya akses untuk mendatanginya, sedangkan lembaga-lembaga resmi pemerintah sepertinya terlalu eksklusif.
Disnakertrans misalnya, kaum buruh yang awam akan “takut-takut” untuk datang mengadu, meskipun lembaga ini yang seharusnya melindungi kaum pekerja.
Disnakertrans terkesan hanya melayani penyelesaian persoalan-persoalan yang terjadi antara pekerja dan pemilik perusahaan. Bila tidak ada persoalan dalam proses PHK, tentunya para pekerja akan merasa sungkan meminta bantuan, walaupun untuk sekedar “curhat”; konsultasi atas masalah pekerjaan yang menimpa mereka.
Departemen Sosial juga demikian, sangat jauh dari jangkauan masyarakat pekerja.
Menampung Dan Memberdayakan
Posko penanganan korban PHK dibentuk sebagai gerakan nyata yang langsung menyentuh para pekerja/buruh.
Pemerintah daerah mesti mengalokasikan dana sosial yang lebih besar untuk penanganan masalah PHK, karena di tahun 2009 ini krisis dunia usaha dan PHK menjadi masalah krusial.
Paling tepat bila pembentukan Posko PHK dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Disnakertrans atau Departemen Sosial yang ada, dengan terlebih dahulu menyusun aturan dan petunjuk pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, besarnya pengangguran di Jawa Tengah menjadi bagian tugas penting dari pemerintah daerah.
Namun, Posko PHK tidak harus dibentuk oleh pemerintah. Sebaiknya bisa juga didirikan oleh LSM-LSM ataupun organisasi politik yang ada di setiap daerah. Tidak peduli apakah akan dimanfaatkan untuk iklan politik, yang penting semakin banyak anggota masyarakat yang diselamatkan dari pengangguran. Artinya, semakin banyak Posko didirikan akan semakin baik.
Keberadaannya akan memberikan rasa aman pada kaum buruh/pekerja, sehingga kekhawatiran akan terkena PHK bisa diminimalkan. Para pekerja akan merasa dilindungi nasibnya, tidak perlu takut bila tiba-tiba mereka terkena giliran.
Posko PHK juga bisa menetralisir keadaan, sehingga peristiwa PHK bagi para pekerja/buruh bukan lagi momok yang menakutkan. Karena ketakutan-ketakutan ini merupakan bom waktu, yang akan meledakkan emosional kaum pekerja jika mereka kemudian benar-benar di PHK. Ledakan emosio-nal ini bisa bersifat destruktif dan anarkis bila ada yang memobilisasi mereka.
Posko PHK akan menampung pengaduan dari setiap pekerja yang sudah terkena PHK atau hampir di PHK. Mereka akan didata, diberi solusi (konsultasi) atas masalah yang dihadapi sehubungan peristiwa PHK yang dialami. Posko juga akan menyalurkan para pekerja/buruh yang terkena PHK untuk diberdayakan, disalurkan ke proyek-proyek atau lembaga pemberdayaan, dan bisa juga di proyek-proyek padat karya.
Jelas, bahwa Posko-Posko penanganan korban PHK akan menjadi angin segar di masa krisis dan himpitan ekonomi yang melanda para pekerja/buruh. Ini juga menjadi salah satu solusi atas masalah pengangguran yang cukup berat penanganannya selama ini, oleh pemerintah. Jadi, kenapa tidak segera dibuat juklaknya dan dibentuk ?***
Badai PHK mulai menyapu para pekerja di sektor-sektor swasta. Lebih dari 7.700 orang dari 21 perusahaan di Jawa Tengah per desember 2008 yang lalu telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Karenanya, sangat mendesak untuk dibentuk Posko-Posko penanganan korban PHK di wilayah ini.
Merujuk data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, jumlah angka pengangguran yang mencapai 1,173 juta orang, jelas sangat tinggi.1 Bila angka ini semakin bertambah akibat krisis global yang disinyalir tidak akan cepat berakhir, tentunya wilayah Jawa Tengah akan rawan terhadap munculnya penyakit-penyakit sosial.
Kehilangan pekerjaan bagi setiap orang yang menyandang status sosial di masyarakat sangat rentan memunculkan tekanan. Tekanan-tekanan yang dialami tidak hanya disebabkan karena sulitnya memperoleh segala kebutuhan hidup, namun juga akibat harga diri mereka yang luluh lantak di mata masyarakat.
Pekerja yang terkena PHK bisa mengalami depresi psikologis yang hebat. Seperti pernah di gam- barkan mantan Presiden AS, Ronald Reagan, yang dikutip Prof.Hendrawan Supratikno dalam salah satu tulisannya, “recession is when your neighbor loses his job, depression is when you lose your job”.2 Seorang teknisi medis di California (AS) bahkan sampai nekat menembak istri, kelima anak, dan dirinya sendiri, akibat frustasi setelah di-PHK dari rumah sakit tempatnya bekerja.3
PHK dan pengangguran juga sangat riskan terhadap kerawanan sosial. Hilangnya mata pencaharian dapat menciptakan lebih banyak kejahatan karena keadaan yang memaksa. PHK dan pengangguran juga sangat berisiko terhadap upaya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dengan meng-gerakkan massa pengangguran untuk melakukan kerusuhan-kerusuhan massa.
Karena itu, pembentukan Posko-Posko penanganan korban PHK akan meredam segala kerawanan sosial ini, sekaligus menjadi langkah nyata yang langsung menyentuh para pekerja dan menjadi angin segar bagi mereka.
Gampang Dijangkau
Posko sifatnya fleksibel, mudah dibentuk, bisa didirikan dimanapun sesuai kebutuhan. Sifatnya yang fleksibel membuat masyarakat yang membutuhkan jadi gampang menjangkaunya. Dimanapun mereka berada tetap punya akses untuk mendatanginya, sedangkan lembaga-lembaga resmi pemerintah sepertinya terlalu eksklusif.
Disnakertrans misalnya, kaum buruh yang awam akan “takut-takut” untuk datang mengadu, meskipun lembaga ini yang seharusnya melindungi kaum pekerja.
Disnakertrans terkesan hanya melayani penyelesaian persoalan-persoalan yang terjadi antara pekerja dan pemilik perusahaan. Bila tidak ada persoalan dalam proses PHK, tentunya para pekerja akan merasa sungkan meminta bantuan, walaupun untuk sekedar “curhat”; konsultasi atas masalah pekerjaan yang menimpa mereka.
Departemen Sosial juga demikian, sangat jauh dari jangkauan masyarakat pekerja.
Menampung Dan Memberdayakan
Posko penanganan korban PHK dibentuk sebagai gerakan nyata yang langsung menyentuh para pekerja/buruh.
Pemerintah daerah mesti mengalokasikan dana sosial yang lebih besar untuk penanganan masalah PHK, karena di tahun 2009 ini krisis dunia usaha dan PHK menjadi masalah krusial.
Paling tepat bila pembentukan Posko PHK dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Disnakertrans atau Departemen Sosial yang ada, dengan terlebih dahulu menyusun aturan dan petunjuk pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, besarnya pengangguran di Jawa Tengah menjadi bagian tugas penting dari pemerintah daerah.
Namun, Posko PHK tidak harus dibentuk oleh pemerintah. Sebaiknya bisa juga didirikan oleh LSM-LSM ataupun organisasi politik yang ada di setiap daerah. Tidak peduli apakah akan dimanfaatkan untuk iklan politik, yang penting semakin banyak anggota masyarakat yang diselamatkan dari pengangguran. Artinya, semakin banyak Posko didirikan akan semakin baik.
Keberadaannya akan memberikan rasa aman pada kaum buruh/pekerja, sehingga kekhawatiran akan terkena PHK bisa diminimalkan. Para pekerja akan merasa dilindungi nasibnya, tidak perlu takut bila tiba-tiba mereka terkena giliran.
Posko PHK juga bisa menetralisir keadaan, sehingga peristiwa PHK bagi para pekerja/buruh bukan lagi momok yang menakutkan. Karena ketakutan-ketakutan ini merupakan bom waktu, yang akan meledakkan emosional kaum pekerja jika mereka kemudian benar-benar di PHK. Ledakan emosio-nal ini bisa bersifat destruktif dan anarkis bila ada yang memobilisasi mereka.
Posko PHK akan menampung pengaduan dari setiap pekerja yang sudah terkena PHK atau hampir di PHK. Mereka akan didata, diberi solusi (konsultasi) atas masalah yang dihadapi sehubungan peristiwa PHK yang dialami. Posko juga akan menyalurkan para pekerja/buruh yang terkena PHK untuk diberdayakan, disalurkan ke proyek-proyek atau lembaga pemberdayaan, dan bisa juga di proyek-proyek padat karya.
Jelas, bahwa Posko-Posko penanganan korban PHK akan menjadi angin segar di masa krisis dan himpitan ekonomi yang melanda para pekerja/buruh. Ini juga menjadi salah satu solusi atas masalah pengangguran yang cukup berat penanganannya selama ini, oleh pemerintah. Jadi, kenapa tidak segera dibuat juklaknya dan dibentuk ?***
Selasa, 24 Maret 2009
Kepemimpinan 'Ala' Mafia
http://http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.html(Psikologi Plus No.4/Oktober 2007)
Oleh : FX. Gus Setyono
Dalam sebuah forum diskusi karyawan, kami menelaah secara kritis sebuah buku berjudul Mafia Manager (“V“, 2003). Terus terang buku ini “menggelitik“ untuk dibahas bukan hanya karena judulnya yang cukup “seram“ dan pengarangnya yang terkesan penuh rahasia (namanya hanya tertulis :“V“), tetapi juga karena isinya yang ternyata menyangkut seni memimpin.
Dalam diskusi tersebut muncul perdebatan, perlukah gaya seorang pemimpin mengambil ajaran-ajaran Mafia dalam menjalankan organisasinya? Bukankah Mafia itu sebuah organisasi kejahatan, yang berarti ajaran-ajarannya juga mengarah ke dunia kriminal?
Memang, mendengar kata Mafia, perhatian kita akan tertuju pada sebuah organisasi kejahatan, dengan aksinya yang selalu mengandalkan kekerasan, kekuasaan, serta bisnis yang mengarah pada obat-obatan terlarang. Membunuh, balas dendam, dan geng tidak bisa lepas dari perilaku Mafia.
Tapi siapa sangka, kalau intisari ajaran-ajaran Mafia -- sadar atau tidak -- telah dipakai oleh para petinggi organisasi? Materinya ternyata sarat dengan filosofi dan “seni“ mempengaruhi, memotivasi dan mengatur orang. Ajaran-ajaran Mafia bisa disebut seni karena memang membutuhkan feeling atau perasaan dan kreativitas. Suatu saat tegas, keras, suatu saat lembut, memotivasi. Tidak ada aturan-aturan baku seperti teori kepemimpinan konvensional.
Dalam meraih suatu karir atau mempertahankan posisi strategis dalam organisasi, banyak yang memakai prinsip-prinsip dalam ajaran para pemimpin Mafia. Ajaran Mafia sangat menarik dan inspiratif. Namun diperlukan kecerdasan, kejelian dan kreativitas untuk mengimplementasikannya. Filosofinya sangat berguna, penuh dengan strategi kepemimpinan yang sesuai diterapkan di zaman apapun. Ajarannya mirip Sun Tzu, yang banyak direkomendasi para pelaku bisnis.
Menyangkut etika berorganisasi misalnya, senioritas menjadi unsur penting dalam pengembangan karir. Para Mafia menekankan, bahwa meniti karir tidak boleh dengan cara instan, tapi mesti dari bawah, “Untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan, seseorang harus merangkak dari bawah ke atas. Dia yang ingin memetik buahnya memang harus mendaki.“ Mereka mengajarkan kepada yang masih “hijau“ dalam organisasi, etikanya sebelum memegang sebuah komando setiap anggota harus belajar patuh, berjuang untuk berprestasi. Kejujuran juga menjadi pertimbangan etis dalam organisasi Mafia. Dalam berinteraksi kejujuran harus dikedepankan. Bagi Mafia, hal terpenting dalam hubungan bisnis ialah reputasi akan kejujuran.
Selain kejujuran, solidaritas dan kesetiaan merupakan etika yang harus dijaga antar anggota organisasi. Dalam organisasi bisnis modern, solidaritas dan kesetiaan dapat diartikan menjadi kebersamaan, loyalitas serta sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan. Menyangkut solidaritas dan kesetiaan ini Mafia tidak ada toleransi, bila melanggar hukumannya adalah :“disingkirkan“!
Strategi (atau trik?) dalam berbisnis juga diajarkan para petinggi Mafia. “Untuk bertahan hidup, bersabarlah, pasang mata, pasang telinga dan jangan banyak omong,“ begitu nasihat mereka agar bisa survive. Supaya menang dalam kompetisi melawan pesaing disarankan, “bersabarlah, bertahan hidup, mengatur rencana dan menyerang dengan cepat.“
Terhadap mitra bisnis Mafia punya strategi sebagai berikut, “Jalankan bisnis dengan orang asing seakan-akan mereka adalah saudara, dan jalankan bisnis dengan saudara seakan-akan mereka adalah orang asing.“ Apakah cara ini efektif? Yang pasti bahwa banyak pelaku bisnis menerapkan strategi tersebut buat mengecoh lawan.
Strategi Organisasi
Menyangkut manajerial juga menjadi perhatian organisasi Mafia. Sebagai contoh adalah efisiensi. Setelah disesuaikan dengan organisasi perusahaan, efisiensi operational cost dapat diilustrasikan sebagai berikut, “Kalau diangkat sebagai kepala cabang dimana kamu diminta membereskan sebuah unit pemasaran yang dipenuhi orang-orang tidak berguna, tugas utamamu adalah mengusahakan kepergian mereka dengan sukarela.“ Efisiensi waktu juga ditekankan. Namun dianjurkan penerapan efisiensi jangan diidentikkan dengan penetapan kegiatan-kegiatan rutin secara kaku. Mafia punya nasihat bijaksana, “Hal terbaik untuk diinvestasikan adalah waktumu. Manajemen waktu yang efektif berarti mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari setiap menit yang kamu gunakan untuk bekerja. Bekerjalah dengan cerdik dan cerdas, bukan lebih keras.“
Bagaimana dengan prinsip kepemimpinan? Mafia punya dalil-dalil yang cukup lengkap. Mulai dari memilih anak buah disarankan, “Jangan sekali-kali menggunakan bawahan yang belum pernah belajar patuh, betapapun kompeten dia.“ Setelah mendapatkan anak buah dinasihatkan, “Jangan sekali-kali mengajarkan semua jurus tipu dayamu pada para prajuritmu, kalau tidak senjata bisa makan tuan.“ Masih banyak lagi berbagai nasihat bagi para pemimpin atau atasan dalam mengatur bawahannya. Yang mereka garisbawahi adalah, dalam hal pengaturan masalah manusia, jangan sekali-kali mengharapkan nalar dan logika.
Dalam dunia bisnis, spekulasi juga tidak diharamkan oleh para Mafia. Hal itu terlihat dari ajaran bahwa orang yang memiliki keberanian besar untuk mengambil keputusam dengan gerakan dan saat yang tepat, pasti melejit ke atas, tetapi yang takut berarti mati. Karena itu, jangan pernah menjadi karyawan yang ’biasa-biasa saja’, karena kesempatan untuk naik karir akan kecil. Untuk bisa menjadi “di atas“ dalam sebuah perusahaan seorang karyawan harus menjadi ’luar biasa’. Berani mengambil tanggung jawab dan keputusan yang besar dalam setiap kesempatan. Pasti risikonya juga tidak kecil, tapi itulah yang dituntut sebuah organisasi (terutama perusahaan) bagi para pemimpinnya.
Kembali ke pertanyaan apakah layak, etis, dan bisa, ajaran-ajaran tersebut diterapkan para pelaku organisasi dalam era kompetisi global dan modern? Jawabannya tergantung dari para pembaca. Kami yang tergabung dalam kelompok diskusi sepakat menyimpulkan : layak, etis dan bisa, selama kita mampu mengambil dan “mengolah“ dengan benar semua intisari ajarannya. Jika bisa menerapkan, ajaran para Mafia banyak membantu kita menjadi seorang pemimpin atau atasan dalam sebuah organisasi.***
Oleh : FX. Gus Setyono
Dalam sebuah forum diskusi karyawan, kami menelaah secara kritis sebuah buku berjudul Mafia Manager (“V“, 2003). Terus terang buku ini “menggelitik“ untuk dibahas bukan hanya karena judulnya yang cukup “seram“ dan pengarangnya yang terkesan penuh rahasia (namanya hanya tertulis :“V“), tetapi juga karena isinya yang ternyata menyangkut seni memimpin.
Dalam diskusi tersebut muncul perdebatan, perlukah gaya seorang pemimpin mengambil ajaran-ajaran Mafia dalam menjalankan organisasinya? Bukankah Mafia itu sebuah organisasi kejahatan, yang berarti ajaran-ajarannya juga mengarah ke dunia kriminal?
Memang, mendengar kata Mafia, perhatian kita akan tertuju pada sebuah organisasi kejahatan, dengan aksinya yang selalu mengandalkan kekerasan, kekuasaan, serta bisnis yang mengarah pada obat-obatan terlarang. Membunuh, balas dendam, dan geng tidak bisa lepas dari perilaku Mafia.
Tapi siapa sangka, kalau intisari ajaran-ajaran Mafia -- sadar atau tidak -- telah dipakai oleh para petinggi organisasi? Materinya ternyata sarat dengan filosofi dan “seni“ mempengaruhi, memotivasi dan mengatur orang. Ajaran-ajaran Mafia bisa disebut seni karena memang membutuhkan feeling atau perasaan dan kreativitas. Suatu saat tegas, keras, suatu saat lembut, memotivasi. Tidak ada aturan-aturan baku seperti teori kepemimpinan konvensional.
Dalam meraih suatu karir atau mempertahankan posisi strategis dalam organisasi, banyak yang memakai prinsip-prinsip dalam ajaran para pemimpin Mafia. Ajaran Mafia sangat menarik dan inspiratif. Namun diperlukan kecerdasan, kejelian dan kreativitas untuk mengimplementasikannya. Filosofinya sangat berguna, penuh dengan strategi kepemimpinan yang sesuai diterapkan di zaman apapun. Ajarannya mirip Sun Tzu, yang banyak direkomendasi para pelaku bisnis.
Menyangkut etika berorganisasi misalnya, senioritas menjadi unsur penting dalam pengembangan karir. Para Mafia menekankan, bahwa meniti karir tidak boleh dengan cara instan, tapi mesti dari bawah, “Untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan, seseorang harus merangkak dari bawah ke atas. Dia yang ingin memetik buahnya memang harus mendaki.“ Mereka mengajarkan kepada yang masih “hijau“ dalam organisasi, etikanya sebelum memegang sebuah komando setiap anggota harus belajar patuh, berjuang untuk berprestasi. Kejujuran juga menjadi pertimbangan etis dalam organisasi Mafia. Dalam berinteraksi kejujuran harus dikedepankan. Bagi Mafia, hal terpenting dalam hubungan bisnis ialah reputasi akan kejujuran.
Selain kejujuran, solidaritas dan kesetiaan merupakan etika yang harus dijaga antar anggota organisasi. Dalam organisasi bisnis modern, solidaritas dan kesetiaan dapat diartikan menjadi kebersamaan, loyalitas serta sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan. Menyangkut solidaritas dan kesetiaan ini Mafia tidak ada toleransi, bila melanggar hukumannya adalah :“disingkirkan“!
Strategi (atau trik?) dalam berbisnis juga diajarkan para petinggi Mafia. “Untuk bertahan hidup, bersabarlah, pasang mata, pasang telinga dan jangan banyak omong,“ begitu nasihat mereka agar bisa survive. Supaya menang dalam kompetisi melawan pesaing disarankan, “bersabarlah, bertahan hidup, mengatur rencana dan menyerang dengan cepat.“
Terhadap mitra bisnis Mafia punya strategi sebagai berikut, “Jalankan bisnis dengan orang asing seakan-akan mereka adalah saudara, dan jalankan bisnis dengan saudara seakan-akan mereka adalah orang asing.“ Apakah cara ini efektif? Yang pasti bahwa banyak pelaku bisnis menerapkan strategi tersebut buat mengecoh lawan.
Strategi Organisasi
Menyangkut manajerial juga menjadi perhatian organisasi Mafia. Sebagai contoh adalah efisiensi. Setelah disesuaikan dengan organisasi perusahaan, efisiensi operational cost dapat diilustrasikan sebagai berikut, “Kalau diangkat sebagai kepala cabang dimana kamu diminta membereskan sebuah unit pemasaran yang dipenuhi orang-orang tidak berguna, tugas utamamu adalah mengusahakan kepergian mereka dengan sukarela.“ Efisiensi waktu juga ditekankan. Namun dianjurkan penerapan efisiensi jangan diidentikkan dengan penetapan kegiatan-kegiatan rutin secara kaku. Mafia punya nasihat bijaksana, “Hal terbaik untuk diinvestasikan adalah waktumu. Manajemen waktu yang efektif berarti mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari setiap menit yang kamu gunakan untuk bekerja. Bekerjalah dengan cerdik dan cerdas, bukan lebih keras.“
Bagaimana dengan prinsip kepemimpinan? Mafia punya dalil-dalil yang cukup lengkap. Mulai dari memilih anak buah disarankan, “Jangan sekali-kali menggunakan bawahan yang belum pernah belajar patuh, betapapun kompeten dia.“ Setelah mendapatkan anak buah dinasihatkan, “Jangan sekali-kali mengajarkan semua jurus tipu dayamu pada para prajuritmu, kalau tidak senjata bisa makan tuan.“ Masih banyak lagi berbagai nasihat bagi para pemimpin atau atasan dalam mengatur bawahannya. Yang mereka garisbawahi adalah, dalam hal pengaturan masalah manusia, jangan sekali-kali mengharapkan nalar dan logika.
Dalam dunia bisnis, spekulasi juga tidak diharamkan oleh para Mafia. Hal itu terlihat dari ajaran bahwa orang yang memiliki keberanian besar untuk mengambil keputusam dengan gerakan dan saat yang tepat, pasti melejit ke atas, tetapi yang takut berarti mati. Karena itu, jangan pernah menjadi karyawan yang ’biasa-biasa saja’, karena kesempatan untuk naik karir akan kecil. Untuk bisa menjadi “di atas“ dalam sebuah perusahaan seorang karyawan harus menjadi ’luar biasa’. Berani mengambil tanggung jawab dan keputusan yang besar dalam setiap kesempatan. Pasti risikonya juga tidak kecil, tapi itulah yang dituntut sebuah organisasi (terutama perusahaan) bagi para pemimpinnya.
Kembali ke pertanyaan apakah layak, etis, dan bisa, ajaran-ajaran tersebut diterapkan para pelaku organisasi dalam era kompetisi global dan modern? Jawabannya tergantung dari para pembaca. Kami yang tergabung dalam kelompok diskusi sepakat menyimpulkan : layak, etis dan bisa, selama kita mampu mengambil dan “mengolah“ dengan benar semua intisari ajarannya. Jika bisa menerapkan, ajaran para Mafia banyak membantu kita menjadi seorang pemimpin atau atasan dalam sebuah organisasi.***
Minggu, 08 Februari 2009
No Action Talk Only, Burukkah?
Oleh : FX. Gus Setyono
“Jadi orang jangan suka NATO, yang penting kerja..!” Kalimat ini sering terdengar untuk menyindir agar orang itu jangan bisanya hanya ngomong atau berteori, tapi juga mesti bisa bekerja dan melaksanakan apa yang diomongkan.
Masalahnya sekarang, apakah orang yang bisanya ngomong dan berteori itu selalu buruk? Jawabnya : belum tentu. Orang yang sukanya debat kusir, asal ngomong, asal komentar dengan tidak didasari pendapat yang logis atau ilmiah, memang buruk. Demikian juga orang yang kerjaannya mencemooh dengan tujuan meremehkan atau menjatuhkan karya orang lain, itu juga tidak baik.
Namun kita tidak bisa meng-gebyah uyah, bahwa setiap orang yang bisanya ngomong dan berteori itu pasti buruk. Banyak orang yang memang kemampuannya menyusun suatu konsep, menyampaikan teori-teori hasil pemikirannya, meskipun belum tentu dia bisa melaksanakan. Konsep dan teori yang dimaksud tidak hanya ngawur dan asal saja, tetapi merupakan hasil pemikiran yang cerdas, kritis, ilmiah atau dilandasi ilmu pengetahuan yang telah terbukti dalam pelaksanaannya.
Orang yang demikian biasanya adalah para pemikir, budayawan atau filsuf yang sangat ahli membuat konsep pemikiran atau filsafat. Dan mereka tentulah bukan orang yang bodoh, namun sangat dalam pengetahuannya mengenai sesuatu hal. Tidak ada pemikir, budayawan atau filsuf yang terbentuk tanpa proses pembelajaran yang dalam dan serius. Setidaknya pasti mereka suka membaca, belajar dan mengamati sesuatu secara kritis.
Talenta Dari Tuhan
Mereka yang suka berpikir, berteori, berfilsafat, bukanlah orang buruk, meskipun belum tentu bisa melaksanakan apa yang diteorikan. Sebab, Tuhan memberikan talenta kepada setiap manusia tidaklah sama. Ada yang bisanya berpikir, berteori, berfilsafat dan berbicara (menjelaskan semua teori atau hasil pemikirannya), namun lemah dalam pelaksanakan di lapangan. Sebaliknya ada orang yang talentanya adalah melaksanakan (di lapangan) namun tidak mampu berkonsep, berteori atau berbicara. Sangat jarang orang yang hebat dalam berteori dan sekaligus pelaksanaan.
Dengan demikian, apakah orang yang selalu berbicara, berteori tanpa bisa melaksanakan itu merupakan suatu kekurangan? Jawabnya sudah diuraikan di atas, bahwa no action talk only maupun no talking action only, masing-masing merupakan talenta. Yang buruk adalah, bila orang tidak memiliki kemampuan kedua-duanya atau tidak mau memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya.
Jadi setiap orang mesti bisa memanfaatkan talentanya dan mau menghargai satu sama lain. Mereka yang pintar berkonsep, berteori dan berbicara mengenai hasil pemikirannya, mesti terus mengasah kemampuannya itu dan bersiaplah untuk menjadi pemikir, pengonsep teori, penyusun sistem, penasihat ahli atau orator yang ulung. Bagi yang terampil melaksanakan di lapangan gunakan kemampuan itu untuk menjadi tenaga-tenaga ahli yang banyak dibutuhkan oleh berbagai organisasi ataupun Bangsa ini.
Pemimpin Bijaksana
Demikian juga kalau kita menjadi pemimpin sebuah organisasi. Jangan langsung mendis-kreditkan anggota yang sukanya NATO. Pemimpin yang bijaksana dan jeli akan memanfaatkan talenta yang dimiliki oleh masing-masing anggotanya untuk mengembangkan organisasinya. Dia akan menempatkan orang yang berkemampuan berkonsep, berteori dan berbicara pada tem-pat yang tepat. Demikian juga terhadap anak buah yang memiliki kemampuan melaksanakan.
Nah, sekarang tergantung Anda. Apakah akan menjadi orang yang jeli dan bijaksana, ataukah tetap ikut-ikutan menilai orang yang selalu NATO sebagai orang yang buruk?***
Kamis, 15 Januari 2009
Awal 2009 Keterpurukan Dunia Ketenagakerjaan
Tahun 2009 ini diawali dengan berita yang tidak menyenangkan bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia.
Seperti telah diberitakan Media Indonesia (12/01/2009) jumlah pekerja yang di PHK akibat krisis global sampai 09 Januari 2009 telah mencapai 24.790 orang. Sedangkan jumlah pekerja yang dirumahkan ada sekitar 11.703 orang.
Padahal angka pengangguran per Juni 2008 lalu tercatat sebesar 9 juta orang. Angka pengangguran ini disampaikan Menakertrans Erman Suparno, saat melakukan kunjungan kerja ke PT.Danliris - Sukorahjo, Jawa Tengah (Media Indonesia 06/06/2008).
Kondisi ini sungguh memprihatinkan dunia kerja di Tanah Air, mengingat kondisi negara ini yang telah terhimpit dengan krisis multidimensi. Berbagai barang mengalami kenaikan harga, kesulitan masyarakat dalam memperoleh barang-barang kebutuhan pokok juga semakin besar.
Situasinya sangat kontradiktif dengan upaya pemerintah yang cukup getol dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa ini, dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan. Dan cukup kontras dengan guru, yang notabene adalah kalangan pekerja juga. Namun para guru di tahun 2009 justru mendapatkan peningkatan kesejahteraan dari pemerintah.
Para pekerja lainnya, sebaliknya. Belum habis bayang-bayang ketakutan akan terkena PHK juga, mereka semakin dibelenggu dengan keluarnya peraturan yang semakin menakutkan, yakni SKB 4 menteri.
Lengkap sudah keterpurukan dunia ketenagakerjaan di Tanah Air. Apa yang mau dicapai pemerintah? Adilkah ini? Tidakkah pemerintah kemudian mengubah peraturan yang semakin menghimpit pekerja, dan menggantinya dengan peraturan yang menyejukkan?
Ya, kita hanya bisa berharap semoga situasi ini segera berakhir.
Seperti telah diberitakan Media Indonesia (12/01/2009) jumlah pekerja yang di PHK akibat krisis global sampai 09 Januari 2009 telah mencapai 24.790 orang. Sedangkan jumlah pekerja yang dirumahkan ada sekitar 11.703 orang.
Padahal angka pengangguran per Juni 2008 lalu tercatat sebesar 9 juta orang. Angka pengangguran ini disampaikan Menakertrans Erman Suparno, saat melakukan kunjungan kerja ke PT.Danliris - Sukorahjo, Jawa Tengah (Media Indonesia 06/06/2008).
Kondisi ini sungguh memprihatinkan dunia kerja di Tanah Air, mengingat kondisi negara ini yang telah terhimpit dengan krisis multidimensi. Berbagai barang mengalami kenaikan harga, kesulitan masyarakat dalam memperoleh barang-barang kebutuhan pokok juga semakin besar.
Situasinya sangat kontradiktif dengan upaya pemerintah yang cukup getol dalam meningkatkan kualitas SDM bangsa ini, dengan beberapa peraturan yang dikeluarkan. Dan cukup kontras dengan guru, yang notabene adalah kalangan pekerja juga. Namun para guru di tahun 2009 justru mendapatkan peningkatan kesejahteraan dari pemerintah.
Para pekerja lainnya, sebaliknya. Belum habis bayang-bayang ketakutan akan terkena PHK juga, mereka semakin dibelenggu dengan keluarnya peraturan yang semakin menakutkan, yakni SKB 4 menteri.
Lengkap sudah keterpurukan dunia ketenagakerjaan di Tanah Air. Apa yang mau dicapai pemerintah? Adilkah ini? Tidakkah pemerintah kemudian mengubah peraturan yang semakin menghimpit pekerja, dan menggantinya dengan peraturan yang menyejukkan?
Ya, kita hanya bisa berharap semoga situasi ini segera berakhir.
Jumat, 28 November 2008
DUA JALUR 'DEVELOPMENT ' KARYAWAN
http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.html
Oleh : FX. Gus Setyono
Pada dasarnya ada dua sistem yang bisa dipakai untuk mengembangkan kualitas (kapabilitas dan integritas) karyawan dalam sebuah organisasi perusahaan. Sistem yang pertama adalah melalui jalur pelatihan. Sedangkan yang kedua melalui jalur pengembangan karir.
Dua jalur ini mesti ditempuh semua dan dalam waktu yang bersamaan. Peniadaan salah satu dari program ini tidak akan membawa hasil yang maksimal – kalau tidak dikatakan gagal. Development terhadap karyawan hanya akan menjadi aktivitas yang monoton dan hanya formalitas belaka.
Program Pelatihan
Jalur yang pertama merupakan syarat mutlak yang mesti dipenuhi bila perusahaan ingin menuju peningkatan kualitas karyawan. Dengan melalui jalur pelatihan, maka kemampuan atau kompetensi karyawan pada satu atau beberapa bidang dapat dikembangkan. Tanpa pelatihan (training) tidak mungkin seorang pegawai dapat melakukan improvement terhadap pekerjaannya.
Karena pentingnya program training pada sebuah organisasi perusahaan, maka program ini mesti disusun secara serius, sistematis, ter-schedule dan terukur hasilnya. Dalam program pelatihan tersebut dimasukkan sistem dan prosedur pelaksanaan training, yang dipakai sebagai panduan pelaksanaan training. Mulai dari perencanaan, schedule, sampai pada pengukuran hasil, mesti dimasukkan dalam sistem pelatihan. Dengan demikian satu pelaksanaan training dapat dipantau efektivitasnya secara tuntas. Hal ini perlu dilakukan karena cost atas training tersebut merupakan investasi bagi perusahaan, yang harus bisa diketahui manfaatnya.
Training bisa dilakukan dengan melibatkan lembaga/trainer dari eksternal perusahaan, bisa juga hanya internal. Training eksternal dilakukan bila tidak ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikan training. Atau bisa juga dilakukan bila bersifat penyegaran (outbond, ice breaking). Sedangkan internal training dilakukan bila ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikannya. Dengan demikian sebaiknya dibentuk satu tim trainer dalam perusahaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan internal training.
Program Pengembangan Karir
Jalur pengembangan karir juga sangat penting ditempuh, bila tidak ingin program development karyawan gagal, berjalan monoton dan sekedar formalitas. Dengan diperhatikannya pengembangan karir, karyawan akan terpacu motivasinya untuk selalu mengembangkan diri dan berprestasi.
Pengembangan karir memberikan semangat karyawan untuk melakukan improvement dalam pekerjaannya. Pengembangan karir membuat karyawan merasa dihargai semua prestasinya (tidak melulu karena gaji). Karyawan merasa “nyaman” dalam bekerja karena salah satu kebutuhannya yaitu prestasi dalam kehidupan dan aktualisasi diri telah terpenuhi. Mereka tidak merasa perlu lagi mencarinya di tempat lain (resign).
Agar lebih tertata dan terprogram, pengembangan karir disusun menjadi sebuah sistem pengembangan karir. Sistem ini menjadi acuan pelaksanaan pengembangan karir karyawan. Pelaksanaan pengembangan karir bisa berjalan secara tersistem dan fair. Karyawan tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar karirnya berkembang.
Dengan demikian pengembangan karir ini juga memacu motivasi karyawan untuk mengembangkan diri dan berprestasi.***
Oleh : FX. Gus Setyono
Pada dasarnya ada dua sistem yang bisa dipakai untuk mengembangkan kualitas (kapabilitas dan integritas) karyawan dalam sebuah organisasi perusahaan. Sistem yang pertama adalah melalui jalur pelatihan. Sedangkan yang kedua melalui jalur pengembangan karir.
Dua jalur ini mesti ditempuh semua dan dalam waktu yang bersamaan. Peniadaan salah satu dari program ini tidak akan membawa hasil yang maksimal – kalau tidak dikatakan gagal. Development terhadap karyawan hanya akan menjadi aktivitas yang monoton dan hanya formalitas belaka.
Program Pelatihan
Jalur yang pertama merupakan syarat mutlak yang mesti dipenuhi bila perusahaan ingin menuju peningkatan kualitas karyawan. Dengan melalui jalur pelatihan, maka kemampuan atau kompetensi karyawan pada satu atau beberapa bidang dapat dikembangkan. Tanpa pelatihan (training) tidak mungkin seorang pegawai dapat melakukan improvement terhadap pekerjaannya.
Karena pentingnya program training pada sebuah organisasi perusahaan, maka program ini mesti disusun secara serius, sistematis, ter-schedule dan terukur hasilnya. Dalam program pelatihan tersebut dimasukkan sistem dan prosedur pelaksanaan training, yang dipakai sebagai panduan pelaksanaan training. Mulai dari perencanaan, schedule, sampai pada pengukuran hasil, mesti dimasukkan dalam sistem pelatihan. Dengan demikian satu pelaksanaan training dapat dipantau efektivitasnya secara tuntas. Hal ini perlu dilakukan karena cost atas training tersebut merupakan investasi bagi perusahaan, yang harus bisa diketahui manfaatnya.
Training bisa dilakukan dengan melibatkan lembaga/trainer dari eksternal perusahaan, bisa juga hanya internal. Training eksternal dilakukan bila tidak ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikan training. Atau bisa juga dilakukan bila bersifat penyegaran (outbond, ice breaking). Sedangkan internal training dilakukan bila ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikannya. Dengan demikian sebaiknya dibentuk satu tim trainer dalam perusahaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan internal training.
Program Pengembangan Karir
Jalur pengembangan karir juga sangat penting ditempuh, bila tidak ingin program development karyawan gagal, berjalan monoton dan sekedar formalitas. Dengan diperhatikannya pengembangan karir, karyawan akan terpacu motivasinya untuk selalu mengembangkan diri dan berprestasi.
Pengembangan karir memberikan semangat karyawan untuk melakukan improvement dalam pekerjaannya. Pengembangan karir membuat karyawan merasa dihargai semua prestasinya (tidak melulu karena gaji). Karyawan merasa “nyaman” dalam bekerja karena salah satu kebutuhannya yaitu prestasi dalam kehidupan dan aktualisasi diri telah terpenuhi. Mereka tidak merasa perlu lagi mencarinya di tempat lain (resign).
Agar lebih tertata dan terprogram, pengembangan karir disusun menjadi sebuah sistem pengembangan karir. Sistem ini menjadi acuan pelaksanaan pengembangan karir karyawan. Pelaksanaan pengembangan karir bisa berjalan secara tersistem dan fair. Karyawan tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar karirnya berkembang.
Dengan demikian pengembangan karir ini juga memacu motivasi karyawan untuk mengembangkan diri dan berprestasi.***
Langganan:
Postingan (Atom)