Jumat, 28 November 2008

DUA JALUR 'DEVELOPMENT ' KARYAWAN

http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.html
Oleh : FX. Gus Setyono


Pada dasarnya ada dua sistem yang bisa dipakai untuk mengembangkan kualitas (kapabilitas dan integritas) karyawan dalam sebuah organisasi perusahaan. Sistem yang pertama adalah melalui jalur pelatihan. Sedangkan yang kedua melalui jalur pengembangan karir.

Dua jalur ini mesti ditempuh semua dan dalam waktu yang bersamaan. Peniadaan salah satu dari program ini tidak akan membawa hasil yang maksimal – kalau tidak dikatakan gagal. Development terhadap karyawan hanya akan menjadi aktivitas yang monoton dan hanya formalitas belaka.

Program Pelatihan
Jalur yang pertama merupakan syarat mutlak yang mesti dipenuhi bila perusahaan ingin menuju peningkatan kualitas karyawan. Dengan melalui jalur pelatihan, maka kemampuan atau kompetensi karyawan pada satu atau beberapa bidang dapat dikembangkan. Tanpa pelatihan (training) tidak mungkin seorang pegawai dapat melakukan improvement terhadap pekerjaannya.

Karena pentingnya program training pada sebuah organisasi perusahaan, maka program ini mesti disusun secara serius, sistematis, ter-schedule dan terukur hasilnya. Dalam program pelatihan tersebut dimasukkan sistem dan prosedur pelaksanaan training, yang dipakai sebagai panduan pelaksanaan training. Mulai dari perencanaan, schedule, sampai pada pengukuran hasil, mesti dimasukkan dalam sistem pelatihan. Dengan demikian satu pelaksanaan training dapat dipantau efektivitasnya secara tuntas. Hal ini perlu dilakukan karena cost atas training tersebut merupakan investasi bagi perusahaan, yang harus bisa diketahui manfaatnya.

Training bisa dilakukan dengan melibatkan lembaga/trainer dari eksternal perusahaan, bisa juga hanya internal. Training eksternal dilakukan bila tidak ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikan training. Atau bisa juga dilakukan bila bersifat penyegaran (outbond, ice breaking). Sedangkan internal training dilakukan bila ada personal dalam perusahaan yang mampu memberikannya. Dengan demikian sebaiknya dibentuk satu tim trainer dalam perusahaan yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan internal training.

Program Pengembangan Karir
Jalur pengembangan karir juga sangat penting ditempuh, bila tidak ingin program development karyawan gagal, berjalan monoton dan sekedar formalitas. Dengan diperhatikannya pengembangan karir, karyawan akan terpacu motivasinya untuk selalu mengembangkan diri dan berprestasi.

Pengembangan karir memberikan semangat karyawan untuk melakukan improvement dalam pekerjaannya. Pengembangan karir membuat karyawan merasa dihargai semua prestasinya (tidak melulu karena gaji). Karyawan merasa “nyaman” dalam bekerja karena salah satu kebutuhannya yaitu prestasi dalam kehidupan dan aktualisasi diri telah terpenuhi. Mereka tidak merasa perlu lagi mencarinya di tempat lain (resign).

Agar lebih tertata dan terprogram, pengembangan karir disusun menjadi sebuah sistem pengembangan karir. Sistem ini menjadi acuan pelaksanaan pengembangan karir karyawan. Pelaksanaan pengembangan karir bisa berjalan secara tersistem dan fair. Karyawan tahu langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar karirnya berkembang.

Dengan demikian pengembangan karir ini juga memacu motivasi karyawan untuk mengembangkan diri dan berprestasi.***

Rabu, 12 November 2008

HRD MESTI BERPIKIR KOMPREHENSIF


Oleh : FX. Gus Setyono


Dalam propose sebuah peraturan perusahaan, HRD perlu meminta masukan, pendapat dan ide dari bagian-bagian lain. Namun terkadang seorang HRD malah dipusingkan dengan berbagai masukan, pendapat dan ide dari berbagai departemen yang ada.

Begitu banyak masukan yang diajukan, dengan beraneka argumen yang dikemukakan. Hal ini dikarenakan masing-masing bagian memiliki dasar pemikiran (pola pikir), tolok ukur dan latarbelakang yang berbeda pula. Departemen-departemen tersebut juga mempunyai kepentingan dan agenda yang bermacam-macam. Dan itu yang bisa membuat pusing.

Bagian keuangan menyampaikan argumen atas dasar kepentingannya, yakni minimalisasi biaya. Bagian produksi sebaliknya, mereka berusaha mengajukan kepentingan mereka yang penuh dengan muatan benefit dan biaya atas setiap aktivitas dan hasil kerja. Belum lagi sales dan marketing, bagian IT, dan bagian-bagian lain yang masing-masing mempunyai kepentingan.

Perbedaan kepentingan yang ingin diakomodir menunjukkan bahwa setiap bagian dalam sebuah organisasi perusahaan juga memiliki karakter yang berbeda juga. Finance karakternya selalu berorientasi terhadap biaya, sales dan marketing berorientasi pada konsumen, produksi berorientasi pada benefit dan kelancaran tugas mereka (target produksi).

Bagaimana dengan HRD? Haruskan HRD juga memiliki sebuah karakter, sehingga menghasilkan kepentingan-kepentingan yang perlu diperjuangkan juga? Jawabnya adalah : YA!! Lalu karakter seperti apa yang mesti dimiliki seorang HRD?

Seorang HRD tidak boleh “saklek”; harus fleksibel dan mampu merangkul semua kepentingan, namun HRD tetap harus punya “karakter”. Karakter HRD adalah mampu berpola pikir di atas semua kepentingan. HRD tidak boleh berpijak hanya pada satu bagian atau kepentingan. HRD harus mampu berpikir komprehensif; untuk kepentingan perusahaan secara keseluruhan, bukan per bagian, apalagi perorangan. HRD juga harus bisa berpikir ke depan; memikirkan dampak atas suatu kebijakan atau peraturan. Dia mesti bisa memandang semua kepentingan dari sisi yang objektif.

Bila HRD berpijak pada satu kepentingan sebuah Departemen, maka peraturan yang dihasilkan juga hanya menguntungkan satu bagian. Sebaliknya, bila mampu berpikir secara komprehensif dan ke depan, maka peraturan yang dihasilkan juga untuk kebaikan dan kepentingan bersama.

Biarlah masing-masing bagian memiliki ke-khas-an dalam pola pikir dan kepentingan. Karena berkat pola pikir yang khas tersebut, mereka memiliki kompetensi di bidangnya. Sebagai HRD tidak boleh kita memaksa mereka untuk merubah pola pikir dan kepentingan (pembunuhan karakter). Sebab dengan merubah pola pikir dan kepentingan, berarti kita membuat mereka tidak lagi memiliki kompetensi di bidangnya.

Karena itu, dibutuhkan sense of art dalam mengelola manusia; dalam arti fleksibel namun berkarakter. Karakter HRD adalah berpola pikir dan berkepentingan untuk semua bagian dalam organisasi. HRD mesti memiliki ke-khas-an sendiri. Mampu berpikir yang komprehensif. Itu yang mesti dipertahankan.***

Senin, 10 November 2008

BAGAIMANA AGAR HRD TIDAK MENJADI “MUSUH” KARYAWAN?

http://http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.html
Oleh : FX. Gus Setyono
Satu permasalahan yang kerap dialami seorang Manajer HRD adalah sulitnya organ-organ perusahaan membedakan tugas dan tanggung jawab HRD, dengan tugas dan tanggung jawab para manager lini. Khususnya dalam menangani persoalan-persoalan para karyawan yang notabene adalah juga anak buah para manager lini.

Pada era sebelumnya, HRD masih disebut dengan bagian Personalia. Tugasnya hampir sama dengan Biro Kepegawaian kalau di Pegawai Negeri. Semua masalah kepegawaian dari mulai absensi, cuti, penilaian karyawan, pemberian gaji, tunjangan kesehatan, pembagian bonus, bimbingan dan konsultasi (couching & counseling), pemberian sanksi terhadap pelanggaran kedisiplinan, serta seabrek tugas kepegawaian lainnya, semua Bagian Personalia yang mengurusi.

Sampai sekarang image HRD sebagai bagian Personalia masih saja melekat di banyak ang- gota organisasi perusahaan. Sehingga kalau ada kejadian pelanggaran kedisiplinan, rendahnya performance, ada karyawan yang mengundurkan diri, kekacauan penghitungan lembur, pengajuan adjustment gaji, serta keputusan-keputusan lain yang menyangkut kepegawaian, selalu diserahkan kepada HRD. HRD dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan. Seolah semua menjadi tanggung jawab Departemen HRD. Para atasan lain tinggal “cuci tangan” dan terima be- res. Mereka merasa tugasnya adalah pekerjaan dibagiannya, dan bukan menangani karyawan ber - masalah, meskipun karyawan tersebut adalah bawahannya.

Akibatnya, kesannya HRD seperti “Polisi” di perusahaan, yang tugasnya selalu mengawa-si pelanggaran-pelanggaran karyawan, dan menertibkannya. HRD juga sering dianggap “Santa Claus” yang bisa memberikan anugerah berupa kenaikan gaji. Sebaliknya bila tidak ada kenaikan gaji berarti juga “dosa” HRD. Bisa jadi HRD menjadi sasaran umpatan-umpatan atau yang lebih parah menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan perusahaan yang merugikan karyawan.

Kasihan mereka yang ada di Departemen HRD. Kalau ada yang bersalah diserahkan pada dia. Padahal kalau ada penerimaan karyawan baru, para manager lini sebagai atasan minta juga dilibatkan (memutuskan) dalam proses perekrutan, tujuannya agar mereka bisa dapat anak buah yang sesuai dengan keinginannya.
Oleh sebab itu, pada konsep yang baru, HRD mesti dibedakan dengan bagian Personalia. HRD, fungsi dan tugasnya fokus pada pengembangan kamampuan dan pemberdayaan Sumber Daya manusia (SDM), bagaimana meningkatkan kontribusi SDM terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Urusan kepegawaian sehari-hari di lapangan mesti ditangani sendiri oleh para atasan pada bagian masing-masing.
Hal ini karena fungsi personalia mesti melekat di semua manager. Setiap manager memiliki tanggung jawab secara organisasi terhadap setiap bawahannya, baik mengenai pengaturan kerja (termasuk supervisi), kinerja, bimbingan dan konsultasi, attitude, termasuk dalam hal pengajuan remunerasi. Fungsi inilah yang disebut man manage (mengatur orang). Dan karena fungsi inilah maka mereka disebut manager.

Penyusunan Sistem
Pertanyaannya kemudian, apakah HRD tidak ada sama sekali fungsinya sehubungan dengan masalah kepegawaian? Jawabannya : ada. Hanya saja HRD lebih bersifat ke penyusunan sistem, sedangkan pelaksanaan di kesehariannya diserahkan (tanggung jawab dan wewenang) kepada masing-masing atasan, agar setiap atasan dapat menjalankan fungsi manajerial (man manage).

Sebagai contoh adalah soal performance review. Dalam hal penilaian, maka HRD mesti membuat sistem dan prosedur penilaian, sedangkan yang berhak memberikan penilaian adalah atasan, karena setiap hari yang tahu kinerja karyawan adalah atasannya. Juga mengenai hak cuti. Yang menyusun prosedur cuti adalah HRD, tapi yang berhak menyetujui atau tidak cuti tersebut adalah atasan.

Pengertian-pengertian yang demikian mesti disosialisasikan kepada seluruh atasan, agar mereka paham fungsi dan tanggung jawabnya sebagai manager, serta fungsi dan tanggung jawab Departemen HRD. Dengan demikian mereka tidak seenaknya saja melemparkan setiap permasalahan karyawan kepada HRD. HRD juga tidak begitu saja menjadi bulan-bulanan karyawan karena dianggap “mata-mata” atau “kaki tangan” pemilik perusahaan. HRD tidak lagi menjadi musuh. Sehingga diharapkan HRD dapat fokus pada pengembangan SDM yang ada di perusahaan.***

HARUSKAH HRD TIDAK POPULER?



Oleh : FX. Gus Setyono
Sering kita mendengar mereka yang berprofesi sebagai HRD mengatakan, “HRD itu harus
siap untuk tidak populer di kalangan karyawan.”
Yang dimaksud adalah, karena HRD itu menjadi kepanjangantangan dan sarana komunikasi semua kehendak owner (pemilik perusahaan) kepada karyawan, serta sering mengeluarkan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan, maka mereka yang ada di Departemen HRD kerapkali tidak disukai oleh karyawan lain.

Mendengar statement tersebut, saya mencoba meluruskan. Bahwa seorang HRD itu bukan hanya harus siap tidak populer di kalangan karyawan, tetapi juga mesti siap tidak populer di kalangan owner. Mengapa demikian? Sebab HRD memiliki fungsi tidak hanya sebagai “jembatan” antara owner dengan karyawan. Eksistensinya juga harus bisa menjadi
“penyeimbang” antara kepentingan owner dan kepentingan karyawan.

Kalau kepentingan karyawan terlalu besar ditekankan, maka HRD mesti bisa mengeremnya. Sebaliknya kalau kepentingan owner yang terlalu besar dipaksakan ke karyawan, HRD juga harus dapat menyeimbangkannya. HRD pula yang wajib “mengawal” agar antara hak dan kewajiban karyawan maupun pemilik perusahaan, selalu dalam posisi seimbang.

Bila yang dilakukan HRD hanya mengakomodir semua keinginan (kepentingan) owner, maka benar bahwa HRD akan tidak populer di kalangan karyawan. Namun, karena keberadaan HRD yang juga mesti mengakomodir kepentingan karyawan, maka bisa jadi dia juga tidak akan populer di kalangan pemilik perusahaan.

Nah, masalahnya sekarang siapkah seorang HRD untuk juga tidak populer di kalangan owner? Hal ini sering menjadi pertanyaan para karyawan (yang tidak menjadi HRD).
Kalau sekedar menjadi tidak populer di kalangan karyawan, itu lebih mudah dilakukan. HRD berlaku sewenang-wenang, “hantam kromo”, selalu mengutamakan kepentingan owner, maka secara otomatis keberadaannya tidak akan disukai karyawan.

Untuk menjadi tidak populer di kalangan pemilik perusahaan, kenyataannya lebih sulit. HRD akan berhadapan dengan “kekuatan” yang jauh lebih besar, karena mereka adalah pemilik modal. Hukum yang berlaku adalah, “siapa yang mempunyai uang dialah yang berkuasa”. Dengan tidak populer di kalangan pemilik perusahaan, maka risiko yang dihadapi juga lebih besar. Dia harus siap menerima sanksi “penyingkiran”, tidak disukai, atau paling tidak prestasi kerja dinilai buruk. Siapkah seorang HRD menerima risiko tersebut?

Bila kita ingin menjadi HRD yang sejati, maka kita harus siap menerima risiko apapun. Termasuk risiko tidak populer di kalangan owner. Tetapi yang paling sempurna adalah kalau kita bisa menjadi HRD yang “ideal”.

HRD dikatakan “ideal” bila dia bisa populer baik di kalangan owner maupun karyawan. HRD yang ideal mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. HRD yang ideal juga mampu mendekatkan dua kepentingan yang saling bertolak belakang, yaitu antara kepentingan pemilik perusahaan dan pekerja.

Memang sulit. Tapi kalaupun tidak sempurna, paling tidak adalah selalu berusaha mendekatkan eksistensinya pada kondisi yang “ideal” tersebut.***