Oleh : FX. Gus Setyono
Badai PHK mulai menyapu para pekerja di sektor-sektor swasta. Lebih dari 7.700 orang dari 21 perusahaan di Jawa Tengah per desember 2008 yang lalu telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Karenanya, sangat mendesak untuk dibentuk Posko-Posko penanganan korban PHK di wilayah ini.
Merujuk data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, jumlah angka pengangguran yang mencapai 1,173 juta orang, jelas sangat tinggi.1 Bila angka ini semakin bertambah akibat krisis global yang disinyalir tidak akan cepat berakhir, tentunya wilayah Jawa Tengah akan rawan terhadap munculnya penyakit-penyakit sosial.
Kehilangan pekerjaan bagi setiap orang yang menyandang status sosial di masyarakat sangat rentan memunculkan tekanan. Tekanan-tekanan yang dialami tidak hanya disebabkan karena sulitnya memperoleh segala kebutuhan hidup, namun juga akibat harga diri mereka yang luluh lantak di mata masyarakat.
Pekerja yang terkena PHK bisa mengalami depresi psikologis yang hebat. Seperti pernah di gam- barkan mantan Presiden AS, Ronald Reagan, yang dikutip Prof.Hendrawan Supratikno dalam salah satu tulisannya, “recession is when your neighbor loses his job, depression is when you lose your job”.2 Seorang teknisi medis di California (AS) bahkan sampai nekat menembak istri, kelima anak, dan dirinya sendiri, akibat frustasi setelah di-PHK dari rumah sakit tempatnya bekerja.3
PHK dan pengangguran juga sangat riskan terhadap kerawanan sosial. Hilangnya mata pencaharian dapat menciptakan lebih banyak kejahatan karena keadaan yang memaksa. PHK dan pengangguran juga sangat berisiko terhadap upaya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, dengan meng-gerakkan massa pengangguran untuk melakukan kerusuhan-kerusuhan massa.
Karena itu, pembentukan Posko-Posko penanganan korban PHK akan meredam segala kerawanan sosial ini, sekaligus menjadi langkah nyata yang langsung menyentuh para pekerja dan menjadi angin segar bagi mereka.
Gampang Dijangkau
Posko sifatnya fleksibel, mudah dibentuk, bisa didirikan dimanapun sesuai kebutuhan. Sifatnya yang fleksibel membuat masyarakat yang membutuhkan jadi gampang menjangkaunya. Dimanapun mereka berada tetap punya akses untuk mendatanginya, sedangkan lembaga-lembaga resmi pemerintah sepertinya terlalu eksklusif.
Disnakertrans misalnya, kaum buruh yang awam akan “takut-takut” untuk datang mengadu, meskipun lembaga ini yang seharusnya melindungi kaum pekerja.
Disnakertrans terkesan hanya melayani penyelesaian persoalan-persoalan yang terjadi antara pekerja dan pemilik perusahaan. Bila tidak ada persoalan dalam proses PHK, tentunya para pekerja akan merasa sungkan meminta bantuan, walaupun untuk sekedar “curhat”; konsultasi atas masalah pekerjaan yang menimpa mereka.
Departemen Sosial juga demikian, sangat jauh dari jangkauan masyarakat pekerja.
Menampung Dan Memberdayakan
Posko penanganan korban PHK dibentuk sebagai gerakan nyata yang langsung menyentuh para pekerja/buruh.
Pemerintah daerah mesti mengalokasikan dana sosial yang lebih besar untuk penanganan masalah PHK, karena di tahun 2009 ini krisis dunia usaha dan PHK menjadi masalah krusial.
Paling tepat bila pembentukan Posko PHK dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Disnakertrans atau Departemen Sosial yang ada, dengan terlebih dahulu menyusun aturan dan petunjuk pelaksanaannya. Bagaimanapun juga, besarnya pengangguran di Jawa Tengah menjadi bagian tugas penting dari pemerintah daerah.
Namun, Posko PHK tidak harus dibentuk oleh pemerintah. Sebaiknya bisa juga didirikan oleh LSM-LSM ataupun organisasi politik yang ada di setiap daerah. Tidak peduli apakah akan dimanfaatkan untuk iklan politik, yang penting semakin banyak anggota masyarakat yang diselamatkan dari pengangguran. Artinya, semakin banyak Posko didirikan akan semakin baik.
Keberadaannya akan memberikan rasa aman pada kaum buruh/pekerja, sehingga kekhawatiran akan terkena PHK bisa diminimalkan. Para pekerja akan merasa dilindungi nasibnya, tidak perlu takut bila tiba-tiba mereka terkena giliran.
Posko PHK juga bisa menetralisir keadaan, sehingga peristiwa PHK bagi para pekerja/buruh bukan lagi momok yang menakutkan. Karena ketakutan-ketakutan ini merupakan bom waktu, yang akan meledakkan emosional kaum pekerja jika mereka kemudian benar-benar di PHK. Ledakan emosio-nal ini bisa bersifat destruktif dan anarkis bila ada yang memobilisasi mereka.
Posko PHK akan menampung pengaduan dari setiap pekerja yang sudah terkena PHK atau hampir di PHK. Mereka akan didata, diberi solusi (konsultasi) atas masalah yang dihadapi sehubungan peristiwa PHK yang dialami. Posko juga akan menyalurkan para pekerja/buruh yang terkena PHK untuk diberdayakan, disalurkan ke proyek-proyek atau lembaga pemberdayaan, dan bisa juga di proyek-proyek padat karya.
Jelas, bahwa Posko-Posko penanganan korban PHK akan menjadi angin segar di masa krisis dan himpitan ekonomi yang melanda para pekerja/buruh. Ini juga menjadi salah satu solusi atas masalah pengangguran yang cukup berat penanganannya selama ini, oleh pemerintah. Jadi, kenapa tidak segera dibuat juklaknya dan dibentuk ?***
Kamis, 26 Maret 2009
Selasa, 24 Maret 2009
Kepemimpinan 'Ala' Mafia
http://http://batiktradisijawa.blogspot.com/2010/07/blouse-batik-abg-sn07-116a.html(Psikologi Plus No.4/Oktober 2007)
Oleh : FX. Gus Setyono
Dalam sebuah forum diskusi karyawan, kami menelaah secara kritis sebuah buku berjudul Mafia Manager (“V“, 2003). Terus terang buku ini “menggelitik“ untuk dibahas bukan hanya karena judulnya yang cukup “seram“ dan pengarangnya yang terkesan penuh rahasia (namanya hanya tertulis :“V“), tetapi juga karena isinya yang ternyata menyangkut seni memimpin.
Dalam diskusi tersebut muncul perdebatan, perlukah gaya seorang pemimpin mengambil ajaran-ajaran Mafia dalam menjalankan organisasinya? Bukankah Mafia itu sebuah organisasi kejahatan, yang berarti ajaran-ajarannya juga mengarah ke dunia kriminal?
Memang, mendengar kata Mafia, perhatian kita akan tertuju pada sebuah organisasi kejahatan, dengan aksinya yang selalu mengandalkan kekerasan, kekuasaan, serta bisnis yang mengarah pada obat-obatan terlarang. Membunuh, balas dendam, dan geng tidak bisa lepas dari perilaku Mafia.
Tapi siapa sangka, kalau intisari ajaran-ajaran Mafia -- sadar atau tidak -- telah dipakai oleh para petinggi organisasi? Materinya ternyata sarat dengan filosofi dan “seni“ mempengaruhi, memotivasi dan mengatur orang. Ajaran-ajaran Mafia bisa disebut seni karena memang membutuhkan feeling atau perasaan dan kreativitas. Suatu saat tegas, keras, suatu saat lembut, memotivasi. Tidak ada aturan-aturan baku seperti teori kepemimpinan konvensional.
Dalam meraih suatu karir atau mempertahankan posisi strategis dalam organisasi, banyak yang memakai prinsip-prinsip dalam ajaran para pemimpin Mafia. Ajaran Mafia sangat menarik dan inspiratif. Namun diperlukan kecerdasan, kejelian dan kreativitas untuk mengimplementasikannya. Filosofinya sangat berguna, penuh dengan strategi kepemimpinan yang sesuai diterapkan di zaman apapun. Ajarannya mirip Sun Tzu, yang banyak direkomendasi para pelaku bisnis.
Menyangkut etika berorganisasi misalnya, senioritas menjadi unsur penting dalam pengembangan karir. Para Mafia menekankan, bahwa meniti karir tidak boleh dengan cara instan, tapi mesti dari bawah, “Untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan, seseorang harus merangkak dari bawah ke atas. Dia yang ingin memetik buahnya memang harus mendaki.“ Mereka mengajarkan kepada yang masih “hijau“ dalam organisasi, etikanya sebelum memegang sebuah komando setiap anggota harus belajar patuh, berjuang untuk berprestasi. Kejujuran juga menjadi pertimbangan etis dalam organisasi Mafia. Dalam berinteraksi kejujuran harus dikedepankan. Bagi Mafia, hal terpenting dalam hubungan bisnis ialah reputasi akan kejujuran.
Selain kejujuran, solidaritas dan kesetiaan merupakan etika yang harus dijaga antar anggota organisasi. Dalam organisasi bisnis modern, solidaritas dan kesetiaan dapat diartikan menjadi kebersamaan, loyalitas serta sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan. Menyangkut solidaritas dan kesetiaan ini Mafia tidak ada toleransi, bila melanggar hukumannya adalah :“disingkirkan“!
Strategi (atau trik?) dalam berbisnis juga diajarkan para petinggi Mafia. “Untuk bertahan hidup, bersabarlah, pasang mata, pasang telinga dan jangan banyak omong,“ begitu nasihat mereka agar bisa survive. Supaya menang dalam kompetisi melawan pesaing disarankan, “bersabarlah, bertahan hidup, mengatur rencana dan menyerang dengan cepat.“
Terhadap mitra bisnis Mafia punya strategi sebagai berikut, “Jalankan bisnis dengan orang asing seakan-akan mereka adalah saudara, dan jalankan bisnis dengan saudara seakan-akan mereka adalah orang asing.“ Apakah cara ini efektif? Yang pasti bahwa banyak pelaku bisnis menerapkan strategi tersebut buat mengecoh lawan.
Strategi Organisasi
Menyangkut manajerial juga menjadi perhatian organisasi Mafia. Sebagai contoh adalah efisiensi. Setelah disesuaikan dengan organisasi perusahaan, efisiensi operational cost dapat diilustrasikan sebagai berikut, “Kalau diangkat sebagai kepala cabang dimana kamu diminta membereskan sebuah unit pemasaran yang dipenuhi orang-orang tidak berguna, tugas utamamu adalah mengusahakan kepergian mereka dengan sukarela.“ Efisiensi waktu juga ditekankan. Namun dianjurkan penerapan efisiensi jangan diidentikkan dengan penetapan kegiatan-kegiatan rutin secara kaku. Mafia punya nasihat bijaksana, “Hal terbaik untuk diinvestasikan adalah waktumu. Manajemen waktu yang efektif berarti mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari setiap menit yang kamu gunakan untuk bekerja. Bekerjalah dengan cerdik dan cerdas, bukan lebih keras.“
Bagaimana dengan prinsip kepemimpinan? Mafia punya dalil-dalil yang cukup lengkap. Mulai dari memilih anak buah disarankan, “Jangan sekali-kali menggunakan bawahan yang belum pernah belajar patuh, betapapun kompeten dia.“ Setelah mendapatkan anak buah dinasihatkan, “Jangan sekali-kali mengajarkan semua jurus tipu dayamu pada para prajuritmu, kalau tidak senjata bisa makan tuan.“ Masih banyak lagi berbagai nasihat bagi para pemimpin atau atasan dalam mengatur bawahannya. Yang mereka garisbawahi adalah, dalam hal pengaturan masalah manusia, jangan sekali-kali mengharapkan nalar dan logika.
Dalam dunia bisnis, spekulasi juga tidak diharamkan oleh para Mafia. Hal itu terlihat dari ajaran bahwa orang yang memiliki keberanian besar untuk mengambil keputusam dengan gerakan dan saat yang tepat, pasti melejit ke atas, tetapi yang takut berarti mati. Karena itu, jangan pernah menjadi karyawan yang ’biasa-biasa saja’, karena kesempatan untuk naik karir akan kecil. Untuk bisa menjadi “di atas“ dalam sebuah perusahaan seorang karyawan harus menjadi ’luar biasa’. Berani mengambil tanggung jawab dan keputusan yang besar dalam setiap kesempatan. Pasti risikonya juga tidak kecil, tapi itulah yang dituntut sebuah organisasi (terutama perusahaan) bagi para pemimpinnya.
Kembali ke pertanyaan apakah layak, etis, dan bisa, ajaran-ajaran tersebut diterapkan para pelaku organisasi dalam era kompetisi global dan modern? Jawabannya tergantung dari para pembaca. Kami yang tergabung dalam kelompok diskusi sepakat menyimpulkan : layak, etis dan bisa, selama kita mampu mengambil dan “mengolah“ dengan benar semua intisari ajarannya. Jika bisa menerapkan, ajaran para Mafia banyak membantu kita menjadi seorang pemimpin atau atasan dalam sebuah organisasi.***
Oleh : FX. Gus Setyono
Dalam sebuah forum diskusi karyawan, kami menelaah secara kritis sebuah buku berjudul Mafia Manager (“V“, 2003). Terus terang buku ini “menggelitik“ untuk dibahas bukan hanya karena judulnya yang cukup “seram“ dan pengarangnya yang terkesan penuh rahasia (namanya hanya tertulis :“V“), tetapi juga karena isinya yang ternyata menyangkut seni memimpin.
Dalam diskusi tersebut muncul perdebatan, perlukah gaya seorang pemimpin mengambil ajaran-ajaran Mafia dalam menjalankan organisasinya? Bukankah Mafia itu sebuah organisasi kejahatan, yang berarti ajaran-ajarannya juga mengarah ke dunia kriminal?
Memang, mendengar kata Mafia, perhatian kita akan tertuju pada sebuah organisasi kejahatan, dengan aksinya yang selalu mengandalkan kekerasan, kekuasaan, serta bisnis yang mengarah pada obat-obatan terlarang. Membunuh, balas dendam, dan geng tidak bisa lepas dari perilaku Mafia.
Tapi siapa sangka, kalau intisari ajaran-ajaran Mafia -- sadar atau tidak -- telah dipakai oleh para petinggi organisasi? Materinya ternyata sarat dengan filosofi dan “seni“ mempengaruhi, memotivasi dan mengatur orang. Ajaran-ajaran Mafia bisa disebut seni karena memang membutuhkan feeling atau perasaan dan kreativitas. Suatu saat tegas, keras, suatu saat lembut, memotivasi. Tidak ada aturan-aturan baku seperti teori kepemimpinan konvensional.
Dalam meraih suatu karir atau mempertahankan posisi strategis dalam organisasi, banyak yang memakai prinsip-prinsip dalam ajaran para pemimpin Mafia. Ajaran Mafia sangat menarik dan inspiratif. Namun diperlukan kecerdasan, kejelian dan kreativitas untuk mengimplementasikannya. Filosofinya sangat berguna, penuh dengan strategi kepemimpinan yang sesuai diterapkan di zaman apapun. Ajarannya mirip Sun Tzu, yang banyak direkomendasi para pelaku bisnis.
Menyangkut etika berorganisasi misalnya, senioritas menjadi unsur penting dalam pengembangan karir. Para Mafia menekankan, bahwa meniti karir tidak boleh dengan cara instan, tapi mesti dari bawah, “Untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan, seseorang harus merangkak dari bawah ke atas. Dia yang ingin memetik buahnya memang harus mendaki.“ Mereka mengajarkan kepada yang masih “hijau“ dalam organisasi, etikanya sebelum memegang sebuah komando setiap anggota harus belajar patuh, berjuang untuk berprestasi. Kejujuran juga menjadi pertimbangan etis dalam organisasi Mafia. Dalam berinteraksi kejujuran harus dikedepankan. Bagi Mafia, hal terpenting dalam hubungan bisnis ialah reputasi akan kejujuran.
Selain kejujuran, solidaritas dan kesetiaan merupakan etika yang harus dijaga antar anggota organisasi. Dalam organisasi bisnis modern, solidaritas dan kesetiaan dapat diartikan menjadi kebersamaan, loyalitas serta sense of belonging atau rasa memiliki terhadap perusahaan. Menyangkut solidaritas dan kesetiaan ini Mafia tidak ada toleransi, bila melanggar hukumannya adalah :“disingkirkan“!
Strategi (atau trik?) dalam berbisnis juga diajarkan para petinggi Mafia. “Untuk bertahan hidup, bersabarlah, pasang mata, pasang telinga dan jangan banyak omong,“ begitu nasihat mereka agar bisa survive. Supaya menang dalam kompetisi melawan pesaing disarankan, “bersabarlah, bertahan hidup, mengatur rencana dan menyerang dengan cepat.“
Terhadap mitra bisnis Mafia punya strategi sebagai berikut, “Jalankan bisnis dengan orang asing seakan-akan mereka adalah saudara, dan jalankan bisnis dengan saudara seakan-akan mereka adalah orang asing.“ Apakah cara ini efektif? Yang pasti bahwa banyak pelaku bisnis menerapkan strategi tersebut buat mengecoh lawan.
Strategi Organisasi
Menyangkut manajerial juga menjadi perhatian organisasi Mafia. Sebagai contoh adalah efisiensi. Setelah disesuaikan dengan organisasi perusahaan, efisiensi operational cost dapat diilustrasikan sebagai berikut, “Kalau diangkat sebagai kepala cabang dimana kamu diminta membereskan sebuah unit pemasaran yang dipenuhi orang-orang tidak berguna, tugas utamamu adalah mengusahakan kepergian mereka dengan sukarela.“ Efisiensi waktu juga ditekankan. Namun dianjurkan penerapan efisiensi jangan diidentikkan dengan penetapan kegiatan-kegiatan rutin secara kaku. Mafia punya nasihat bijaksana, “Hal terbaik untuk diinvestasikan adalah waktumu. Manajemen waktu yang efektif berarti mendapatkan hasil sebesar-besarnya dari setiap menit yang kamu gunakan untuk bekerja. Bekerjalah dengan cerdik dan cerdas, bukan lebih keras.“
Bagaimana dengan prinsip kepemimpinan? Mafia punya dalil-dalil yang cukup lengkap. Mulai dari memilih anak buah disarankan, “Jangan sekali-kali menggunakan bawahan yang belum pernah belajar patuh, betapapun kompeten dia.“ Setelah mendapatkan anak buah dinasihatkan, “Jangan sekali-kali mengajarkan semua jurus tipu dayamu pada para prajuritmu, kalau tidak senjata bisa makan tuan.“ Masih banyak lagi berbagai nasihat bagi para pemimpin atau atasan dalam mengatur bawahannya. Yang mereka garisbawahi adalah, dalam hal pengaturan masalah manusia, jangan sekali-kali mengharapkan nalar dan logika.
Dalam dunia bisnis, spekulasi juga tidak diharamkan oleh para Mafia. Hal itu terlihat dari ajaran bahwa orang yang memiliki keberanian besar untuk mengambil keputusam dengan gerakan dan saat yang tepat, pasti melejit ke atas, tetapi yang takut berarti mati. Karena itu, jangan pernah menjadi karyawan yang ’biasa-biasa saja’, karena kesempatan untuk naik karir akan kecil. Untuk bisa menjadi “di atas“ dalam sebuah perusahaan seorang karyawan harus menjadi ’luar biasa’. Berani mengambil tanggung jawab dan keputusan yang besar dalam setiap kesempatan. Pasti risikonya juga tidak kecil, tapi itulah yang dituntut sebuah organisasi (terutama perusahaan) bagi para pemimpinnya.
Kembali ke pertanyaan apakah layak, etis, dan bisa, ajaran-ajaran tersebut diterapkan para pelaku organisasi dalam era kompetisi global dan modern? Jawabannya tergantung dari para pembaca. Kami yang tergabung dalam kelompok diskusi sepakat menyimpulkan : layak, etis dan bisa, selama kita mampu mengambil dan “mengolah“ dengan benar semua intisari ajarannya. Jika bisa menerapkan, ajaran para Mafia banyak membantu kita menjadi seorang pemimpin atau atasan dalam sebuah organisasi.***
Langganan:
Postingan (Atom)