Oleh : FX. Gus Setyono
Sering kita mendengar mereka yang berprofesi sebagai HRD mengatakan, “HRD itu harus
siap untuk tidak populer di kalangan karyawan.” Yang dimaksud adalah, karena HRD itu menjadi kepanjangantangan dan sarana komunikasi semua kehendak owner (pemilik perusahaan) kepada karyawan, serta sering mengeluarkan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan, maka mereka yang ada di Departemen HRD kerapkali tidak disukai oleh karyawan lain.
Mendengar statement tersebut, saya mencoba meluruskan. Bahwa seorang HRD itu bukan hanya harus siap tidak populer di kalangan karyawan, tetapi juga mesti siap tidak populer di kalangan owner. Mengapa demikian? Sebab HRD memiliki fungsi tidak hanya sebagai “jembatan” antara owner dengan karyawan. Eksistensinya juga harus bisa menjadi
“penyeimbang” antara kepentingan owner dan kepentingan karyawan.
Kalau kepentingan karyawan terlalu besar ditekankan, maka HRD mesti bisa mengeremnya. Sebaliknya kalau kepentingan owner yang terlalu besar dipaksakan ke karyawan, HRD juga harus dapat menyeimbangkannya. HRD pula yang wajib “mengawal” agar antara hak dan kewajiban karyawan maupun pemilik perusahaan, selalu dalam posisi seimbang.
Bila yang dilakukan HRD hanya mengakomodir semua keinginan (kepentingan) owner, maka benar bahwa HRD akan tidak populer di kalangan karyawan. Namun, karena keberadaan HRD yang juga mesti mengakomodir kepentingan karyawan, maka bisa jadi dia juga tidak akan populer di kalangan pemilik perusahaan.
Nah, masalahnya sekarang siapkah seorang HRD untuk juga tidak populer di kalangan owner? Hal ini sering menjadi pertanyaan para karyawan (yang tidak menjadi HRD).
Kalau sekedar menjadi tidak populer di kalangan karyawan, itu lebih mudah dilakukan. HRD berlaku sewenang-wenang, “hantam kromo”, selalu mengutamakan kepentingan owner, maka secara otomatis keberadaannya tidak akan disukai karyawan.
Kalau sekedar menjadi tidak populer di kalangan karyawan, itu lebih mudah dilakukan. HRD berlaku sewenang-wenang, “hantam kromo”, selalu mengutamakan kepentingan owner, maka secara otomatis keberadaannya tidak akan disukai karyawan.
Untuk menjadi tidak populer di kalangan pemilik perusahaan, kenyataannya lebih sulit. HRD akan berhadapan dengan “kekuatan” yang jauh lebih besar, karena mereka adalah pemilik modal. Hukum yang berlaku adalah, “siapa yang mempunyai uang dialah yang berkuasa”. Dengan tidak populer di kalangan pemilik perusahaan, maka risiko yang dihadapi juga lebih besar. Dia harus siap menerima sanksi “penyingkiran”, tidak disukai, atau paling tidak prestasi kerja dinilai buruk. Siapkah seorang HRD menerima risiko tersebut?
Bila kita ingin menjadi HRD yang sejati, maka kita harus siap menerima risiko apapun. Termasuk risiko tidak populer di kalangan owner. Tetapi yang paling sempurna adalah kalau kita bisa menjadi HRD yang “ideal”.
HRD dikatakan “ideal” bila dia bisa populer baik di kalangan owner maupun karyawan. HRD yang ideal mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. HRD yang ideal juga mampu mendekatkan dua kepentingan yang saling bertolak belakang, yaitu antara kepentingan pemilik perusahaan dan pekerja.
Memang sulit. Tapi kalaupun tidak sempurna, paling tidak adalah selalu berusaha mendekatkan eksistensinya pada kondisi yang “ideal” tersebut.***
berarti skr kebanyakan HRD itu lebih pas disebut personalia ya...lha yg diurusi cuma soal absen, cuti, PP, SP...
BalasHapus